jump to navigation

Posisi Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Era Globalisasi dan Neoliberalisme 16/10/2012

Posted by bungtjokro in Kenegaraan.
add a comment

Sebagai Nara Sumber Diskusi : Bpk Anhar Gonggong

Diskusi perdana yang mengangkat tema tentang Pancasila karena sebagai fondasi bangsa, Pancasila mulai dilupakan, paling tidak terlihat mulai luntur dalam kehidupan kita sehari-hari. Lihat saja, begitu banyak praktek-praktek korupsi terjadi, yang justru banyak dilakukan oleh mereka yang dikatakan pemimpin rakyat. Ketika ada upaya memberantas korupsi dengan berdirinya KPK, maka usaha pengkriminalisasian terhadap lembaga ini terus datang bertubi-tubi. Belum lagi, melihat carut-marutnya sistem pendidikan yang jauh dari kata ideal. Terkesan terkotak-kotak, dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Reguler, yang pada akhirnya membuat siswa yang pintar dan kayalah yang mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara, mereka yang kurang beruntung, hanya cukup dapat berharap mendapatkan fasilitas seadanya. Yang lebih memiriskan hati adalah begitu banyak sumber daya alam terbentang dari Sabang sampai Merauke, tetapi kedaulatan  mengolah dan menggunakannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak berada di tangan kita, tetapi di tangan ”penjajah terselubung”, yaitu perusahaan-perusahaan asing. Gambaran ini tentu jauh dari apa yang dicita-citakan oleh para founding fathers kita ketika mereka memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, Indonesia. Cita-cita mereka untuk Indonesia dapat terlihat jelas dalam Pancasila yang lahir dari proses yang cukup panjang. Pancasila diciptakan karena faktor globalisasi yang ada dan dihadapi pada saat itu oleh bangsa Indonesia, yaitu kolonialisme dan imperialisme.

Pada saat ini, faktor globalisasi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah Neokapitalisme dan Neoliberalisme. Pancasila sebagai fondasi bangsa tetap sesuai untuk menghadapi Neokapitalisme dan Neoliberalisme tersebut. Untuk itu, seharusnya kita mulai berpikir dan bertanya, ”Mengapa kita menghadapi situasi global dengan menerima Neokapitalisme dan Neoliberalisme ini dan tidak menyadari bahwa Pancasila yang kita miliki dapat menjadi dasar ekonomi?” Kita memang sedang berhadapan dengan neokapitalisme dan neoliberalisme, tetapi paling tidak kita dapat merumuskan ekonomi politik Pancasila untuk menghadapi dampak negatif dari sistem tersebut. Namun, mengapa Pancasila dibiarkan saja, sementara dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis salah satu tujuan berbangsa-bernegara adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Seharusnya, kita dapat melahirkan ekonomi politik Pancasila untuk berhadapan dengan neokapitalisme dan neoliberalisme.

Ide dasar Pancasila sebenarnya lahir dari pemikiran Bung Karno, tetapi banyak orang mengetahuinya adalah M. Yamin. Bung Karno adalah orang pertama yang merumuskan Pancasila dengan menggunakan kata ”Pancasila”. Yamin tidak menggunakan nama Pancasila. Ide Pancasila telah mulai ditulis oleh Bung Karno sejak tahun 1926, yang kemudian dibacakan melalui Pidato Soekarno tentang Pancasila pada 1 Juni 1945 dan pada tahun 1947 dibuat dalam buku “Lahirnya Pancasila”. Ide Pancasila ini lahir karena Bung Karno terobsesi dengan persatuan dan nasionalisme. Bung Karno sangat sadar bahwa negeri ini demikian luas, memiliki penduduk bermacam-macam, tidak hanya berbeda agama, tetapi juga budaya yang dilahirkan karena kerajaan-kerajaan yang pernah ada. Untuk itu, negara-bangsa yang beragam ini harus memiliki faktor pengikat. Pancasila dipandang sebagai faktor yang dapat mengikat.

Jika dilihat urutan Pancasila, Bung Karno menyesuaikan dengan apa yang harus dicapai oleh Indonesia sebagai bangsa. Seharusnya, Pancasila bukan hanya dihafalkan tetapi dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang tidak dilakukan oleh sebagian besar warga negara-bangsa Indonesia hingga saat ini. Contoh yang paling mudah ”Mungkinkah bangsa yang ber-Tuhan melakukan korupsi? Korupsi saat ini terjadi karena sila pertama saja tidak dilakukan dalam kehidupan berbangsa. Sebenarnya sila-sila di dalamnya pun dibuat memang melalui suatu proses. Dalam Pancasila, Sila Pertama, ”Ketuhanan yang Maha Esa” mengartikan bahwa yang terpenting di dalam jiwa bangsa Indonesia adalah agama—iman yang kuat di dalam suatu keluarga, lingkungan dan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika iman dan pendidikan agama kita sudah kuat, maka kita akan secara langsung melalui proses ke Sila Kedua, yaitu ” Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Kita sebagai bangsa akan lebih adil dan beradab dalam menghadapi berbagai hal dan permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, karena keimanan kita sudah kuat. Setelah kita sebagai berbangsa sudah adil dan beradab, maka akan berproses ke Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia”. Setelah kita bersatu maka dalam kehidupan ini pasti akan ada perbedaan dalam pendapat. Hal ini pasti akan terjadi ketika kita menjalankan kehidupan sebagai bangsa-negara. Maka, secara langsung yang terjadi adalah Sila Ke empat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Pastinya, permasalahan akan kita hadapi ketika menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan baik,  musyawarah adalah alatnya. Dari gambaran detil di atas, terlihat jelas bahwa inti sila yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah sila pertama sampai sila keempat. Sila kelima adalah hasil jika kita sudah melakukan semua keempat sila tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari. Akhirnya, kita mencapai ke dalam hasil yaitu sila kelima, ”Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Indonesia sudah menjalankan sistem Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila. Dapat dikatakan, kita sebagai negara-bangsa masih mencari bentuk demokrasi sampai dengan saat ini. Pendiri bangsa, Bung Karno dan Bung Hatta, telah berpikir tentang bentuk demokrasi yang sebaiknya ditegakkan di Indonesia sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1933, mereka mengatakan bahwa jika kita melaksanakan demokrasi, jangan kita meniru demokrasi Barat, jangan kita menjalankan demokrasi impor karena hanya menekankan pada demokrasi politik, tidak pada ekonomi. Bayangkan, Bung Karno sudah menggunakan istilah demokrasi ekonomi di tahun itu, sementara Barat baru mencari demokrasi ekonomi mereka pada 1988 yang sekarang menunjukkan kelemahannya.

Sepanjang kita merdeka, jika kita melihat Pancasila sebagai sebuah keutuhan maka Ia harus menjadi landasan, dengan 2 aspek yaitu Pancasila sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai filsafat negara. Namun, yang sangat disayangkan adalah hingga detik ini, Pancasila, yang dicetuskan oleh Soekarno dan Hatta, tidak pernah kita gali secara mendalam dan sebenar-benarnya Hasilnya adalah selama 67 tahun merdeka, semua pemerintah kita ”anti” Pancasila. Selama ini, pemerintah tidak memiliki tim yang dapat memberikan apa yang dibutuhkan untuk Pancasila. Bagaimana kita dapat menterjemahkan masing-masing sila dan kemudian mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ketika Ahmadiyah ditentang, apakah itu arti Persatuan seperti dalam sila ketiga dalam Pancasila? Orang miskin dapat kita temui dengan mudah dimana-mana, apakah itu bentuk dari sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Secuil contoh, di antara ratusan—bahkan mungkin ribuan contoh pedih, pahit dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini—menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah meletakkan Pancasila sebagai dasar dalam membangun negara ini. Dan yang perlu diingat adalah pembangunan ekonomi tanpa nilai akan membawa kita pada kekeroposan bangsa. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh para founding fathers kita. Mereka merancang dan membuat Pancasila dengan tujuan Pancasila akan menjadi jembatan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya. Tanggungjawab untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila di tengah arus modernisme ini seharusnya berada di tangan kita, rakyat Indonesia. Sanggupkah kita menerima tanggung jawab ini dan melaksanakannya sesuai amanah dan pesan para founding fathers kita? Jawaban itu terletak pada kita, generasi pembaharu Indonesia!